Kiat keduabelas: Menempuh hidup sederhana.
Di antara hal yang tidak kalah penting agar keberkahan dapat kita wujudkan pada rezeki kita ialah dengan menempuh hidup hemat dan sederhana. Kita membelanjakan harta kekayaan dengan penuh tanggung jawab. Dengan demikian, tidak ada sedikitpun dari harta kita yang dibelanjakan dalam hal yang kurang berguna atau sia-sia, apalagi diharamkan.
Yang demikian itu dikarenakan rezeki kita adalah karunia dan sekaligus amanat dari Allah Ta’ala yang kelak di hari Kiamat akan kita pertanggungjawabkan.
ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ
“Kemudian, kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan.” (Qs. at-Takatsur: 8).
Sahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu mengisahkan, “Pada suatu hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari rumahnya, tiba-tiba beliau menjumpai sahabat Abu Bakar dan Umar radhiallahu ‘anhuma. Spontan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada keduanya, ‘Apakah yang menyebabkan kalian berdua keluar dari rumahmu pada saat seperti ini?’ Mereka berdua menjawab, ‘Ya Rasulullah, rasa laparlah yang menjadikan kami keluar rumah.’ Mendengar jawaban keduanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpalinya dengan bersabda, ‘Dan sungguh -demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya- karena rasa lapar pula aku keluar rumah, maka mari ikutilah aku.’ Keduanyapun mengikuti langkah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, menuju ke rumah salah seorang sahabat dari kaum Anshar (penduduk asli Madinah-pen.). Akan tetapi, didapatkan sahabat yang dituju sedang tidak sedang berada di rumah. Tatkala istri pemilik rumah menyaksikan kehadiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kedua sahabatnya, ia berkata, ‘Selamat datang!’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, ‘Di manakah suamimu?’ Wanita itu menjawab, ‘Ia sedang mengambil air untuk kami.’ Tidak begitu lama, sahabat pemilik datang, dan tatkala ia menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kedua sahabatnya, ia langsung berkata, ‘Segala puji hanya milik Allah, hari ini, tiada orang yang kedatangan tamu yang lebih mulia dibanding tamuku.’ Dan tanpa pikir panjang, ia segera menghidangkan setangkai kurma yang padanya terdapat kurma muda, kurma yang telah kering, dan kurma yang baru masak, lalu ia mempersilakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kedua sahabatnya untuk makan. Bukan hanya itu, ia bergegas mengambil sebilah pisau. Menyaksikan perbuatan sahabatnya ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Jangan engkau sembelih kambing yang sedang menyusui.’ Tidak lama kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan seluruh sahabatnya menyantap buah kurma dan daging kambing sembilihannya tersebut, hingga kenyang. Seusai menyantap hidangan itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada sahabat Abu Bakar dan Umar, ‘Sungguh, demi Allah yang jiwaku berada di Tangan -Nya, kelak di hari Kiamat, kalian akan ditanyakan tentang kenikmatan ini. Rasa lapar telah memaksa kalian untuk keluar rumah, dan tidaklah kalian kembali ke rumah, kecuali setelah merasakan kenikmatan ini.`” (HR. Imam Muslim).
Pada hadits lain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَزُولَ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ القِيَامَةِ حَتىَّ يُسْأَلَ عَنْ أَرْبَعٍ: عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ عِلْمِهِ مَا عَمِلَ بِهِ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ، وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ
“Kelak kedua kaki setiap hamba tidak akan beranjak, hingga ditanyakan tentang empat hal: tentang umurnya; ia pergunakan untuk mengamalkan apa? ilmunya; apa yang ia perbuat dengannya? harta-bendanya; dari mana ia peroleh dan ke mana ia belanjakan? badannya; ia pergunakan untuk mengamalkan apa?” (HR. at-Tirmidzy, ath-Thabrany dan dishahihkan oleh al-Albani).
Bila demikian adanya, tidak mengherankan bila Islam telah mengajarkan kepada umatnya metode pembelanjaan harta yang benar. Di antara syariat tersebut ialah dengan menempuh hidup sederhana, jauh dari sifat kikir dan juga jauh dari berlebih-lebihan.
وَالَّذِينَ إِذَا أَنفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (hartanya), mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (Qs. al-Furqan: 67).
Al-Qurthuby al-Maliky berkata, “Ada tiga pendapat tentang maksud dari larangan berbuat israf (berlebih-lebihan) dalam membelanjakan harta:
Pendapat pertama: Membelanjakan harta dalam hal yang diharamkan dan ini adalah pendapat Ibnu Abbas.
Pendapat kedua: Tidak membelanjakan dalam jumlah yang banyak, dan ini adalah pendapat Ibrahim an-Nakha’i.
Pendapat ketiga: Mereka tidak larut dalam kenikmatan, bila mereka makan, maka mereka makan sekadarnya, dan dengan agar kuat dalam menjalankan ibadah, dan bila mereka berpakaian, maka sekadar untuk menutup auratnya, sebagaimana yang dilakukan oleh sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ini adalah pendapat Yazid bin Abi Habib.”
Selanjutnya, al-Qurthuby menimpali ketiga penafsiran ini dengan berkata, “Ketiga penafsiran ini benar, karena membelanjakan dalam hal kemaksiatan adalah diharamkan. Makan dan berpakaian hanya untuk bersenang-senang, dibolehkan, akan tetapi bila dilakukan agar kuat menjalankan ibadah dan menutup aurat, maka itu lebih baik. Oleh karena itu, Allah memuji orang yang melakukan dengan tujuan yang utama, walaupun selainnya adalah dibolehkan, akan tetapi bila ia berlebih-lebihan dapat menjadikannya pailit. Pendek kata, menabungkan sebagian harta itu lebih utama.” (Ahkamul Qur’an oleh al-Qurthuby, 3/452).
Adapun maksud dari “Tidak kikir dalam membelanjakan harta“, maka para ulama tafsir memiliki dua penafsiran:
Penafsiran pertama: Tidak enggan untuk menunaikan kewajiban, misalnya zakat dan lainnya.
Penafsiran kedua: Pembelanjaan harta tersebut tidak menjadikannya terhalangi dari menjalankan ketaatan (Ahkamul Qur’an oleh al-Qurthuby, 3/452), sebagaimana halnya orang yang hanyut dalam berbelanja di mall, sampai lupa untuk mendirikan shalat.
Bila seseorang telah terhindar dari sifat kikir, niscaya ia dapat menunaikan tanggung jawabnya dengan baik. Sebagaimana ia akan senantiasa bergegas dalam berinfak, bersifat dermawan, dan terhindar dari ambisi untuk menguasai harta orang lain (baca Syarah Shahih Muslim oleh Imam an-Nawawi, 17/30).
Artikel www.PengusahaMuslim.com